Pemerintah berencana menghentikan impor garam industri, khususnya untuk sektor aneka pangan. Aneka pangan selama ini mencakup untuk penggunaan mi instan, tepung bumbu dan lainnya.
Targetnya, mulai 31 Desember 2025, seluruh kebutuhan garam industri makanan dan minuman (mamin) harus terpenuhi dari produksi dalam negeri.
Lantas, mengapa impor garam industri bakal terhentikan? Bagaimana respons dari pabrik makanan dan minuman? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.
Respons Industri Makanan & Minuman Terkait Penghentian Impor
Pelaku industri makanan dan minuman menyatakan beberapa kekhawatiran terkait rencana ini, di antaranya:
1. Ketersediaan Pasokan
Beberapa pabrik khawatir pasokan garam lokal belum cukup memenuhi kebutuhan industri, terutama untuk skala besar.
2. Kualitas dan Konsistensi
Garam impor dinilai memiliki tingkat kemurnian (NaCl) yang lebih tinggi dan konsisten, sehingga cocok untuk proses produksi makanan dan minuman.
3. Dampak pada Biaya Produksi
Jika garam lokal belum sepenuhnya memenuhi spesifikasi industri, perusahaan mungkin perlu melakukan pengolahan tambahan, yang berpotensi menaikkan biaya produksi.
Solusi yang Bisa Ditempuh
Agar kebijakan ini berjalan lancar, perlukan beberapa langkah strategis:
- Peningkatan Produksi Garam Lokal – Perlu investasi lebih besar di sektor pengolahan garam untuk memenuhi standar industri.
- Kolaborasi dengan Petani Garam – Industri bisa bekerja sama dengan petani lokal untuk menjamin kualitas dan kuantitas pasokan.
- Regulasi yang Mendukung – Pemerintah perlu memastikan regulasi yang jelas agar transisi dari impor ke garam lokal berjalan mulus.
Rencana penghentian impor garam industri merupakan langkah positif untuk kemandirian nasional. Namun, tantangan utama adalah memastikan pasokan garam lokal benar-benar siap memenuhi kebutuhan industri.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, petani garam, dan pelaku industri, diharapkan kebijakan ini bisa berjalan efektif tanpa mengganggu stabilitas produksi makanan dan minuman di Indonesia.