Jakarta saat ini sebagian wilayahnya mengalami penurunan tanah hingga 25 cm per tahun. Jika tidak segera tertangani, sejumlah area padat penduduk seperti Jakarta Utara bisa sepenuhnya terendam air laut.
Tanpa intervensi cepat, prediksi ahli menyebut sebagian Jakarta Utara bisa tenggelam pada 2050.
Tembok setinggi 2,5 meter ini terbangun daerah pesisir seperti Pantai Indah Kapuk, Pluit, dan Ancol, yang kerap menjadi langganan banjir rob. Materialnya terancang tahan tekanan air dan erosi, dengan struktur beton perkuat.
Proyek ini menuai pro-kontra:
- Pendukung menyebut tembok sebagai solusi darurat yang vital untuk melindungi pemukiman dan infrastruktur.
- Kritik menganggap ini hanya “plester” sementara, sambil menunggu pembangunan Giant Sea Wall (Tanggul Laut Raksasa) yang masih dalam tahap perencanaan.
Pemerintah Provinsi DKI menjanjikan integrasi tembok ini dengan sistem normalisasi sungai dan pompa banjir untuk efisiens
Dampak pada Warga dan Lingkungan
Pembangunan tembok diharapkan mengurangi kerugian ekonomi akibat banjir, seperti:
- Kerusakan rumah dan jalan.
- Gangguan aktivitas bisnis di kawasan industri pesisir.
Namun, warga diingatkan untuk tetap waspada dan ikut menjaga drainase lingkungan.
Selain infrastruktur, edukasi tentang pengurangan penggunaan air tanah dan pengelolaan sampah perlu tergencarkan untuk mitigasi jangka panjang. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat nilai kunci untuk selamatkan Jakarta dari “kiamat” banjir.
Tembok 2,5 meter ini memang bukan solusi final, tapi langkah awal yang krusial. Jika iringi dengan kebijakan jangka panjang, teknologi hijau, dan kesadaran publik, Jakarta masih punya peluang untuk menghindari “kiamat” dini yang mengancam. Namun jika tidak, tembok ini bisa jadi hanya sekadar garis akhir sebelum air laut mengambil alih.